Kemiskinan di Pati Belum Dapat Perhatian Serius



Janda yang bernama Sumiarti (70) di Desa Bremi, Kecamatan Gembong, Kabupeten Pati, hidupnya di bawah kemiskinan,  bahkan sampai miskin pemikiran. Atas belas kasihan tetangganya sehingga  masih bisa melanjutkan kehidupanny, seperti apakah  kisah dari janda tersebut?







Manis pahitnya kehidupan sudahlah jamak dalam kehidupan di dunia. Namun kalau kehidupan pahit yang dialami, tentulah berbeda. Seperti warga Desa Bremi, RT 02/RW 08, Kecamatan Gembong ini.  Adalah seorang janda bernama Sumiarti, masyarakat sekitar sering memanggil mbah Sumiarti (70). Dia adalah salah satu warga yang terbelit kemiskinan dari banyaknya warga yang miskin.  Bahkan bisa dikatakan dibawah garis kemiskinan, dia mempunyai 3 anak, yang pertama Suwanto (33), tapi  dia sekarang sudah menikah dan tinggal di Kudus jarang sekali ke rumah ibunya itu. Anak kedua bernama Siti Asnah (28) dia mempunyai kekurangan dalam pengliatan. Dan ketiga adalah Salamun (19), tapi sayang anak yang ketiga ini sudah meninggal akibat kecelakaan padahal anak ketiga adalah tumpuan keluarga.
Diceritakan oleh Mbah Sumiarti bahwa anak sulungnya yang di Kudus pun juga jarang berkunjung bahkan bisa dikatakan tidak pernah.  Mah Sumi menyadari bahwa kehidupan anaknya juga tidak jauh berbeda dengan kehidupannya.  “Makanya saya juga tidak pernah “njagakno” dapat bantuan dari anak saya yang di Kudus”.
Selanjutnya Mbah Sumi bercerita bahwa dirinya dengan satu anak perempuannya yang juga menderita kekurangan penglihatan hanya bisa pasrah. Seringkali tidak makan, bahkan pernah sampai satu bulan lebih, hanya makan seadanya, misalnya ketela pohon dan air putih.
“Sehari-hari saya hanya menggantungkan hidup dari hasil bertani dan buruh tani.  Tapi karena punggung seringkali kumat, akhirnya ya sekuat saya saja”.
Mbah Sumi menambahkan bahwa sebenarnya tidak ingin menggantungkan hidupnya pada orang lain.  Namun karena semenjak jatuh dari truk ketika jadi buruh tani, berakibat punggungnya sakit dan tanpa pernah diobati.  







Memang Mbah Sumi punya tegal yang tidak seberapa luasnya, yang merupakan warisan orang tuanya.  Itupun lahannya miring, sehingga sulit ditanami oleh seorang perempuan tua ini.  “Saya tanami kacang tholo, terkadang hasilnya lumayan namun juga gagal.  Dari panen kacang tholo hanya dapat hasil Rp. 500 ribu/tahun. Mau tidak mau uang itu untuk menyambung kehidupan selama setahun”.
Dia juga menjelaskan bahwa rumah yang di tinggali adalah rumah swadaya masyarakat sekitar. Dulu rumah tersebut terbuat dari bambu (gedek) pernah ambruk pada tahun 2006 akibat diterjang angin kencang.
Sementara itu anak ketiganya, Siti Asnah mengungkapkan, rumah yang ditempati bersama simbok ini memang di bangun dari pertolongan masyarakat Bremi. Sehari-sehari tidak ada penghasilan sama sekali, apalagi  sudah tidak bekerja karena mata saya mengalami gangguan  dan untuk melihat orang terlihat sama-samar.
“Beras raskin saja saya tidak bisa menebusnya, akhirnya pak kepala desa mengantarkan beras ke rumah. Tapi ada salah satu warga yang selalu membantu bahkan bisa dikatakan membantu setiap hari, namanya Pak Rusdi” jelasnya.
Masyarakat yang bernama Rusydi (57), mengatakan bahwa sesama mahkluk sosial harus saling bantu membantu, apalagi ada kata-kata yang mengatakan tiada hari tanpa memberi. Apalagi saya melihat kehidupan mbok Sumi benar-benar msikin dan dia tidak punya apa-apa. Lahan pertanian yang dia punya itupun tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari, apalagi tanahnya tandus karena lahan tanah pertaniannya berada di perengan bukit.(Bayu)

*)Laporan Masyarakat Bremi, info from mr. Muslichun. Thanks.




Share on Google Plus

About pati streaming

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar