(Jateng Headline - PATI) Hidup
adalah pilihan. Dan apapun pilihan tersebut, pastilah semua akan berdampak besar
bagi kehidupan di masa depan. Pilihan sulit yang coba dijalani seperti apa yang harus dilakukan oleh Bonardi,
yang harus rela melepaskan kesempatan jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) demi
rambut gimbalnya.
Dalam
hidup, keputusan sulit terkadang harus dipilih saat kita dihadapkan pada dua
pilihan yang sangat penting. Sehingga bila salah dalam memilih karena tidak sesuai
yang dianggap benar menurut anggapan umum, maka orang lain pasti akan
menganggapnya sebagai kegagalan. Padahal, bagi yang bersangkutan pilihan
tersebut adalah hal terbaik di antara pilihan yang paling baik.
Tampaknya
itulah yang dipilih oleh salah seorang pelukis layar atau gleber dalam istilah Jawa nya untuk panggung kesenian tradisional
ketoprak di Pati, Bonardi. Kendati ayah dua anak tersebut asal Wonosobo, tapi
waktunya banyak dihabiskan di Pati. Karena sewaktu-waktu memang ada juragan
ketoprak yang membutuhkan tenaganya.
Apalagi,
katanya, jika tidak untuk melukis layar yang juga merupakan bagian dari
dekorasi panggung kesenian tersebut. Sebab, para juragan ketoprak di Pati yang
jumlahnya tidak kurang dari 40 orang tiap tahun pasti ada yang melakukan
renovasi perlengkapannya, tidak hanya semata-mata layar tapi juga kelengkapan
lainnya.
Hal
itu termasuk pilar kiri dan kanan, serta layar bagian depan yang merupakan
identitas grup ketoprak yang bersangkutan. Layar tersebut lazim disebut skerem yang dibuka kali pertama saat
pertunjukan dimulai, dan layar kembali ditutup saat pertunjukan ketoprak
berakhir.
Jika
para jurugan kethoprak di Pati lebih banyak menggunakan jasanya untuk keperluan
tersebut, bukan berarti di Pati tidak ada pelukis.
“Kalau
pelukis jumlahnya cukup banyak, tapi jarang yang bersedia melukis dengan media
layar cukup lebar,” ujar seniman lukis berusia 47 tahun itu.
Rata-rata,
untuk ukuran layar panggung ketoprak ada yang panjangnya 7,5 meter x 3,40 meter
meter, tapi ada yang sampai 9 meter x 3,40 meter. Dengan demikian bidang yang
harus dilukis tentu cukup lebar, sehingga berbeda melukis di atas kanvas ukuran
biasa.
Selain
dia, terdapat dua pelukis layar lainnya yang menjadi langganan juragan kethoprak
di Pati. Masing-masing, Wiji asal Pekalongan, dan juga Eko yang asal Desa/Kecamatan
Margorejo, Pati. Sehingga kadang-kadang juragan kethoprak harus antri menunggu
giliran, karena untuk melakukan renovaai layar tersebut memakan waktu lebih
dari satu bulan untuk satu grup ketoprak.
Paling
ramai order renovasi, adalah saat musim kethoprak sepi order tanggapan, yaitu
selama Bulan Puasa dan Suro.
Sedangkan untuk menggambar satu layar, ongkosnya berbeda tergantung tingkat
kesulitannya, seperti untuk melukis pendapa keraton harganya berbeda dengan
menggambar ruangan rumah desa maupun layar yang menggambar kondisi laut.
Terlepas
dari dia memasang tarif per layar, hal itu sebagai bukti bahwa pilihan yang
pada awalnya dia dianggap tidak waras, selama ini sudah terjawab bahwa hal itu
tidak salah.
“Ya
tergantung jenis gambarnya, paling gampang yaitu lukisan suasana lautan hanya
Rp 2 juta. Sedangkan untuk lukisan keraton dan taman biayanya sampai Rp 3,5
juta,” terangnya sambil memegangi kuas lukis.
Sekitar
Tahun 1987, saat lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG), maka siap untuk tugas
mengajar di SD adalah tawaran yang tak bisa ditolak. Mengingat syarat yang
harus dipenuhi, adalah berambut pendek hal itu dengan tegas ditolak, karena
waktu itu dia memang termasuk anak berambut gimbal di daerahnya yang pernah
diruwat saat dipotong, setelah dibiarkan panjang lagi.
”Karena
menolak untuk memenuhi persyaratan tersebut, sebagai calon guru pun kami
tinggalkan, dan lebih memilih untuk belajar melukis secara otodidak yang memang
itu sebuah karunia,” ujar Bonardi sambil meneguk kopi.
0 komentar:
Posting Komentar