(Jateng Headline – PATI) Kebijakan pemberlakuan lima hari sekolah
terdapat konsekuensi logis berupa pemadatan materi pengajaran, apalagi bagi
sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013. Faktor materi yang padat tentu
beresiko dengan kejenuhan dan kecapaian yang akan dihadapi oleh siswa dan
gurunya, akibatnya daya serap pelajaran siswa pun menjadi menurun.
“Ini berbagai aspek yang perlu dikaji lebih
mendalam. Jadi, kami berharap pemkab/pemkot tidak sertamerta memberlakukan
kebijakan sekolah lima hari dengan model instruksi. Semua harus disesuaikan
dengan kondisi daerah masing-masing. Kami pun di Komisi E DPRD Jateng turut
mengevaluasi efektivitasnya,” pungkasnya.
“Komposisi
kurikulum di Indonesia saat ini kan masih 70% teori dan 30% simulasi. Jadi
siswa lebih banyak di kelas dibanding di luar kelas dengan pembelajaran yang
refresh dan menyenangkan. Itu berbeda dengan negara lain, seperti Swedia,
Finlandia, atau Malaysia yang menerapkan 70% simulasi dan 30% teori,” tegas Muh Zen ADV,
anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah dan Ketua
Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI) Jawa Tengah
Aspek
sarana dan prasana (sarpras) yang belum siap untuk pemberlakuan sekolah lima
hari. Ketersediaan tempat ibadah (masjid atau mushala) di sekolah masih belum
representatif dan mampu menampung sejumlah siswa. Bahkan masih ada sekolah yang
belum memiliki sarpras tersebut.
“Belajar
sampai sore tentu siswa butuh shalat Dzuhur dan Ashar di sekolah. Nah, kalau
jam istirahat hanya 30 menit tentu mereka akan bersamaan dalam melaksanakan
shalat. Apa semua masjid atau mushalanya layak untuk itu,” terangnya.
Faktor perekonomian
siswa dan transportasi pendukung juga akan berpengaruh. Dan dipastikan urusan
keuangan siswa seperti bekal pun dipastikan akan mengalami pembengkaan. Sedangkan
transportasi, tidak semua daerah terdapat angkutan umum yang beroperasi hingga
sore.
Salah satu dampak lima hari sekolah adalah siswa dan guru akan mengalami kejenuhan dan kecapaian, akibatnya daya serap pelajaran menurun. |
0 komentar:
Posting Komentar