(Jateng Headline - PATI) Konflik kepentingan yang memanas antara
warga dengan pemodal yang terjadi di wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
(BKPH) Ngarengan, Perum Perhutani KPH Pati berjanji akan mencari solusi
terbaik.
Pasalnya, hingga saat ini masalah pengambilalihan secara paksa oleh warga yang tinggal di sekitar hutan dari para pemodal yang selama ini mengelola lahan milik Perum Perhutani masih belum terselesaikan.
Pasalnya, hingga saat ini masalah pengambilalihan secara paksa oleh warga yang tinggal di sekitar hutan dari para pemodal yang selama ini mengelola lahan milik Perum Perhutani masih belum terselesaikan.
Wakil Kepala
Administratur (Waka Adm.) Bagian Pati Utara Perhutani KPH Pati, Gatot Farid
Prabowo menilai, masalah pengambilalihan hak pengelolaan lahan ini murni masalah
perut.
“Kita akui sangat sulit
mengurai masalah ini. Namun yang pasti kita akan mencari solusi terbaik
berdasarkan kajian sosial,” ungkapnya.
Menurutnya, selama ini
pihak Perhutani sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berkerja sama dengan
warga di sekitar hutan dengan memberikan hak pengelolaan lahan, dengan tujuan
menjaga kelestarian hutan. Namun, oleh warga lahan tersebut justru
diperjualbelikan.
“Hingga akhirnya, hak
pengelolaan itu sampailah ke tangan pemodal. Kalau sudah bicara pemodal yang
terjadi adalah murni komersialisasi lahan hutan dengan ditanami ketela sehingga
keadaan hutan di wilayah Ngarengan kondisinya memprihatinkan,” lanjutnya.
Darai data Perhutani
KPH Pati, selama 20 tahun terakhir tidak pernah melakukan tebangan hutan dengan
kategori baik. Hal tersebut tak lepas dari minimnya kesadaran pengelola lahan
untuk menjaga kelestarian hutan dan hanya cenderung mengejar untung dari
tanaman ketela.
“Ini murni masalah
perut. Karena menaman ketela ini hasilnya tergolong menggiurkan. Kemungkinan
karena hal itulah warga di sekitar hutan ingin hak pengelolaan hutan diambil
kembali. Hal inilah yang kita sayangkan, karena semangat untuk menjaga
kelestarian hutan sebagai tujuan utama justru diabaikan,” jelasnya.
Kedepan, tambah Gatot,
kita akan mengatur kembali masalah pengelolaan hutan yaitu dengan pengendalian
penanaman ketela. Pihaknya mempersilakan warga yang mengelola lahan Perhutani,
namun dalam waktu 3 tahun harus bersedia meninggalkan lahan tersebut. Pasalnya,
dalam usia tanaman 3 tahun tanaman utama yaitu jati tidak bisa tumbuh normal
jika disekitarnya ditanami ketela.
“Disini kita sangat
berharap kesadaran dari warga. Jika memang warga masih tetap mau menanam,
silahkan menamam jenis tanaman empon-empon seperti jahe, kencur dan lainnya”
ujar Gatot.
Namun, jika hal
tersebut sulit terealisasi Perhutani juga akan menerapkan sistem demplot 6 x 3
x 2. Yaitu dengan membuat sistem plong 6 meter, dimana warga diperbolehkan
menanam ketela dilahan tersebut. Sedangkan plong 3 meter adalah hak Perhutani, dan
lahan tersebut tidak boleh diganggu oleh warga karena akan ditanami tanaman
utama.
“Dengan jarak tanam
tanaman utama 3 kali 2 meter. Disela-sela itu akan digunakan oleh petugas
Perhutani untuk menanam tanaman sela seperti jenis pepaya California yang ditujukan
untuk kesejahteraan petugas Perhutani yang dilapangan,” terangnya.
Pihaknya juga
menjelaskan, bahwa saat ini Perhutani sudah menemukan varietas ketela dengan
hasil 15 kilogram per pohon.
“Saat ini Pak Adm sudah
menemukan varietas tersebut, dengan harapan bisa menekan luas lahan yang
ditanamai ketela. Karena yang ada saat ini, satu pohon hanya menghasilkan 3
kilogram ketela,” pungkasnya.
Wakil Kepala Administratur (Waka Adm.) Bagian Pati Utara Perhutani KPH Pati, Gatot Farid Prabowo akan mencarikan solusi terbaik |
0 komentar:
Posting Komentar